Pelajaran di Warung Senja

Langit senja di pinggiran kota itu selalu menyajikan lukisan yang sama setiap harinya. Jingga, ungu, dan Sentuhan merah muda melebur lembut, menari-nari di antara siluet pepohonan yang mulai memudar. Di tepi jalan yang tidak terlalu ramai, berdiri sebuah warung kecil yang seolah menjadi bagian tak terpisahkan dari pemandangan itu. Warung Senja, begitu orang-orang memanggilnya. Di sanalah, di bawah cahaya keemasan yang menyapu segala kesibukan, sebuah pelajaran tentang hidup secara halus diajarkan.

Rafi menatap laptopnya dengan pandangan lesu. Tumpukan lamaran kerja yang ia kirim seakan tenggelam dalam lautan penolakan dan keheningan. Lulusan strata satu yang segar, ia merasa seperti kapal tanpa layar di tengah samudra kehidupan kota yang keras. Biaya hidup menekan, dan tabungannya perlahan menipis.

"Daripada menganggur, lebih baik bantu nenek saja di warung," ujar ibunya suatu sore, sambil menyajikan teh hangat.

Rafi mengerutkan kening. Membantu neneknya, Mbah Ningsih, di warung teh kecil? Itu bukanlah gambaran masa depannya setelah menyandang gelar sarjana. Baginya, itu adalah langkah mundur. Tapi, melihat ibunya yang mulai rentan dan desakan kebutuhan, ia akhirnya mengangguk lesu. "Baik, Bu. Aku akan coba." Baca selanjutnya silahkan di order