Rumah Belajar Berbaik Sangka

Dinding kamar itu menyimpan lebih dari sekadar cat yang mulai mengelupas. Ia adalah saksi bisu dari sunyi yang semakin tebal, dari tatapan yang saling menghindar, dan dari kata-kata tak terucap yang menggantung berat seperti kabut di pagi hari. Keluarga Wijaya, yang dulu riuh dengan tawa dua anak remajanya, kini lebih mirip sekumpulan penghuni asrama yang kebetulan berbagi atap yang sama.

Ayah, Bima, sibuk dengan dunia konstruksinya, membawa pulau stres dan hitungan proyek. Ibu, Riana, tenggelam dalam rutinitas mengajar di sekolah dan mengurus rumah yang terasa semakin hambar. Kaka, si sulung berusia 17 tahun, lebih sering terkurung di balik layar laptopnya, dunia mayanya lebih menarik daripada percakapan di meja makan. Adit, si bungsu 15 tahun, menghabiskan waktunya dengan earphone menempel permanen di telinga, mengasingkan diri dalam alunan musik keras.

Rumah itu tidak lagi terasa hangat. Ia hanya sebuah struktur beton yang penuh dengan prasangka. Baca selanjutnya silahkan di order